Rabu, 21 Desember 2011

HUKUM ADMINISTRASI PEMBANGUNAN/PERIZINAN

TUGAS KELOMPOK :
HUKUM ADM PEMBANGUNAN/PERIZINAN
DOSEN PEMBIMBING : BINTORO, SH,MH
STUDY KASUS : PEMBERIAN IJIN EKSPLOITASI MATA AIR UMBUL
WADON DI SLEMAN .

Pendahuluan
Air adalah sesuatu yang sulit untuk disubtitusi, meski oleh produk-produk modern yang berbentuk cairan sekalipun seperti soft drink, juice atau lain sebagai. Air tetap saja memiliki tempat tertentu dalam siklus human needs, yang sulit untuk terganti. Air merupakan sesuatu yang vital bagi kehidupan manusia. Pemenuhan kebutuhan akan air, adalah pemenuhan terhadap kebutuhan dasar untuk keberlangsungan hidup manusia, dan karena kebutuhan dasar merupakan Hak Asasi Manusia, maka pemenuhan kebutuhan akan air adalah pemenuhan atas hak asasi manusia.
Kesadaran akan hal ini, sejak awal telah diadopsi dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Air merupakan kebutuhan dasar manusia yang keberadaanya dijamin konstitusi, yakni pada pasal 33 UUD 1945, ayat 3 yang berbunyi: "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Dengan kata lain, sejak awal telah disadari perlunya penyediaan kebutuhan dasar, termasuk air, dijamin dalam konstitusi negara Indonesia, sebagai sebuah
kontrak sosial antara pemerintah dan warganegara.

Penyediaan kebutuhan dasar juga dipertegas pada level global. Pada November 2002, Komite PBB untuk Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya mendeklarasikan akses terhadap air merupakan sebuah hak dasar "a fundamental rigth". Disebutkan bahwa air adalah benda sosial dan budaya, dan tidak hanya komoditi ekonomi. Komite ini menekankan bahwa 145 negara telah meratifikasi Konvenan Internasional Untuk Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang kini telah diikat dengan perjanjian untuk mempromosikan akses pada air secara setara
tanpa diskriminasi.

Ironisnya, pemenuhan atau penyediaan kebutuhan dasar akan air, dari waktu ke waktu terus mengalami tekanan.


Di Yogyakarta, beberapa faktor seperti berkurangnya wilayah tangkapan air (cathment area) di wilayah hulu akibat tingginya alih fungsi lahan dan berkurangnya jumlah mata air membawa dampak bagi berkurangnya debit air yang bisa diakses untuk pemenuhan kebutuhan dasar itu. Apalagi privatisasi air oleh BUMD dan perusahaan swasta ikut menguasai beberapa mati air yang tersisa. Mata air tidak lagi bisa diakses dengan mudah oleh masyarakat disekitarnya seperti dulu.

Permasalahan yang terjadi di Umbul Wadon, adalah sebuah contoh kongkrit dari semakin sulitnya akses masyarakat atas air akibat privatisasi. Meski ada kesepakatan antara masyarakat dengan pelaku privatisasi tentang pembagian penggunaan air dari Umbul Wadon dalam besaran tertentu, tetap saja kepentingan masyarakat untuk dipenuhi kebutuhannya akan air selalu dikalahkan. Fakta-fakta seperti debit air untuk irigasi masyarakat tiba-tiba mengecil dan volume air untuk pelaku privatisasi menjadi over standart bukan lagi hal baru. Penggunaan mata air umbul wadon berkali-kali harus ditertibkan karena berbagai konflik yang muncul antara masyarakat dan pelaku privatisasi.
Umbul Wadon termasuk jenis mata air artesis yang muncul dari patahan lempengan bumi. Menurut cerita para sesepuh desa, lokasi munculnya Umbul Wadon adalah titik dimana lahar dari Gunung Merapi berhenti, ketika terjadi letusan besar ratusan tahun yang lalu. Pada musim hujan, debit atau kapasitas air yang keluar dari Umbul Wadon sekitar 650 liter/detik dan 400 liter/detik pada musim kemarau. Pada musim hujan debitnya lebih besar karena mendapat tambahan resapan air hujan dan akar pepohonan yang menyimpan air.
UMBUL WADON merupakan mata air yang terletak di di dusun Pangukrejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. Keberadaannya telah cukup lama, sehingga tidak diketahui lagi siapa yang pertama kali menemukan.”. Selain Umbul Wadon, terdapat sebuah mata air lagi, Umbul Lanang, yang kini tak lagi memancarkan air.
Pemanfaatan Umbul Wadon sebagai sumber air minum bagi warga baru dilakukan pada tahun 1992. “Sekitar Januari tahun 1992, airnya bisa mengalir secara baik dengan keberadaan pipa 2 inch,” .Menurut informasi Proyek ini adalah murni swadaya masyarakat untuk mencukupi kebutuhan air warga. “dulu kita swadaya, teknologinya melalui gravitasi murni. Kemudian pada tahun 1992 dibantu dari proyek kecamatan yang nilainya tidak kecil waktu itu yakni sekitar 7 juta.”
Air dari Umbul Wadon telah dimanfaatkan selama puluhan tahun untuk berbagai keperluan manusia, baik untuk irigasi pertanian, konsumsi rumah tangga, dan industri kecil. Menurut data dari Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2003), lahan pertanian seluas 650 hektar mendapatkan aliran irigasi dari Umbul Wadon. Namun data dari masyarakat setempat, yang tergabung dalam Organisasi Pemakai Air (OPA), tidak kurang dari 1.250 hektar lahan pertanian yang mendapatkan aliran air dari Umbul Wadon, yaitu di wilayah Kecamatan Pakem, Cangkringan, dan Ngemplak. Selain untuk irigasi, Umbul Wadon juga dimanfaatkan untuk air minum, dengan pengelola Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Sleman, PDAM Tirta Marta Yogyakarta, dan PD. Anindya. Air minum yang dikelola oleh ketiga perusahaan tersebut mencukupi kebutuhan ribuan rumah tangga di Kabupaten Sleman dan Kodya Yogyakarta. Namun, dari ketiga pengelola air minum tersebut, PDAM Sleman adalah pihak yang ketergantungannya terhadap sumber Umbul Wadon sangat tinggi, karena sebagian besar suplai air diambil dari Umbul Wadon.
Seperti halnya dengan sumberdaya kehidupan yang lain, kelestarian Umbul Wadon saat ini semakin terancam oleh eksploitasi yang berlebihan dari berbagai pihak tanpa ada upaya konservasi yang konsisten. Salah satu konflik yang mencuat adalah perebutan pembagian air antar-masyarakat di bagian hulu dan antara masyarakat hulu dengan hilir.
Pada awalnya, tidak ada metode khusus dalam mengelola Umbul Wadon ini, ia hanya dibiarkan mengalir begitu saja kemana-mana. “Ya dibiarkan saja mengalir ke ruas-ruas dan akhirnya air akan meresap juga tho, akan kembali ke induk dan sungai akan besar lagi. Hal ini tentu berbeda dengan kondisi sekarang dimana banyak pipa telah masuk kesana.
KONFLIK pemanfaatan mata air Umbul Wadon bermula ketika PDAM Sleman tiba-tiba membangun jaringan pipa di tahun 1997. Pada awalnya, penduduk di sekitar Umbul Wadon tidak mengetahui siapa gerangan yang memiliki proyek besar ini. Belakangan, dari informasi penduduk yang ikut bekerja dalam proyek tersebut, dapat diketahui bahwa proyek pembangunan pipa itu milik PDAM Sleman. “Waktu itu, katanya, (pipa-pipa) ini akan digunakan untuk mengairi Sleman dan Yogyakarta pada umumnya,” Namun sebelum jaringan pipa dioperasikan, ribuan petani melakukan aksi demo menolak pengambilan air Umbul Wadon oleh PDAM.
Konflik mencuat karena PDAM Sleman tidak mematuhi aturan pembagian air sesuai kesepakatan bersama yang tertera dalam Amdal. Seperti disebut di atas, jatah 35 persen untuk air minum dibagi untuk tiga perusahaan, yaitu PDAM Sleman, PDAM Kodya Yogyakarta, dan PD. Anindya, yaitu perusahaan daerah milik Provinsi DIY yang bergerak dalam bidang pariwisata di Kaliurang, yang salah satunya menyediakan layanan air bersih. Namun kenyataannya, dari hasil pengukuran yang dilakukan pada Oktober, Desember 2003 dan April 2004, PDAM Sleman telah mengambil jatah air yang berlebihan, dari yang diijinkan sekitar 80 liter/detik menjadi sekitar 190 liter/detik atau hampir 150 persen lebih banyak dari yang diijinkan.
Dari permasalahan itulah kemudian muncul ketidakpuasan masyarakat hulu. Perilaku PDAM Sleman yang mengambil air secara berlebihan tersebut telah menyebabkan ratusan hektar lahan pertanian yang terletak di Kecamatan Pakem, Cangkringan, dan Ngemplak, mengalami gagal panen dan sulit untuk ditanami lagi.
Selain telah menyebabkan petani tidak bisa berproduksi akibat ketiadaan air irigasi, pada gilirannya akan menyebabkan dampak ekonomi, yaitu bertambahnya pengangguran. Masyarakat yang semula bertani menjadi tidak bisa bertani lagi karena lahannya tidak mendapatkan aliran air. Dampak berikutnya, akibat lahan tidak ada aliran air, tidak bisa ditanami padahal masyarakat harus tetap memenuhi kebutuhan sehari-hari menyebabkan tidak ada pilihan lagi bagi masyarakat, kecuali menjual lahan miliknya. Akhirnya, penjualan tanah ke orang lain (khususnya orang kota) dan alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan semakin bertambah. Masyarakat semakin termarginalisasi dan masuk dalam perangkap kemiskinan struktural. Indikator ini bisa disaksikan di sepanjang jalan Kaliurang, yaitu dimana alih fungsi lahan menjadi sangat cepat dan akhirnya akan berpengaruh pada tata ruang yang banyak dilanggar dan tidak ada penegakan hukum dari Pemda Sleman.
Pada era desentralisasi ini, upaya daerah mengeksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) guna mengejar “setoran” Pendapatan Asli daerah (PAD) kiranya sudah menjadi gejala umum. Terutama di wilayah-wilayah yang secara geografis mempunyai potensi alam yang besar. Sedang di sisi lain, cara pandang pemerintah dalam mengatur struktur akses dan kontrol masyarakat atas SDA pasca-Reformasi tak banyak berubah. Kecenderungan untuk memperkuat struktur dominatif dan hierarkhis terasa kuat ketimbang memberdayakan masyarakat. Akibatnya, kebijakan strategis yang menyangkut kelangsungan akses dan kontrol masyarakat atas SDA, terutama yang vital seperti air, tertutup pagi partisipasi publik.
Karenanya, pakar Sumber Daya Air, Dr Ir Budi WS DipHE menilai, “Sudah sewajarnya petani di sekitar Umbul Wadon menuntut haknya untuk dipenuhi, apalagi bagi petani air adalah sumber kehidupan. Air sebagai sarana produksi yang menopang kehidupan sehari-hari. Tanpa air, petani air petani tak akan mempunyai pekerjaan dan akan menjadi pengangguran yang mempunyai dampak yang lebih berat bagi pemerintah daerah.” Nah, apakah PAD hasil penjualan air ke AMDK akan setimpal dengan penurunan kualitas kesejahteraan masyarakat dan terjadinya pengangguran? “Biaya” seperti ini yang tampaknya luput dari pertimbangan para pemegang otoritas kewenangan di daerah.
Konflik horisontal tersebut dibuat untuk mengalihkan kelemahan dari pihak PDAM Sleman, yaitu masalah kecurangan air, menjadi konflik perebutan air antara petani dan pelanggan PDAM Sleman. Dengan memanipulasi konflik maka substansi advokasi berusaha dipecah menjadi sebuah provokasi dan akhirnya akan melepaskan tanggung jawab hukum dari para pejabat PDAM Sleman dan Pemda Sleman.
Namun provokasi ini mampu dikelola melalui komunikasi antara masyarakat hulu dan hilir dengan memanfaatkan media cetak, elektronik, maupun melalui pertemuan langsung antara pihak-pihak terkait. Kedewasaan dari masyarakat, baik petani dan pelanggan, harus diacungi jempol, karena mereka menyadari kepentingan yang lebih besar.
Dalam mengeliminir provokasi tersebut, peran media massa menjadi sangat penting untuk menjelaskan posisi petani dan pelanggan PDAM Sleman, ketika saluran komunikasi langsung belum memungkinkan dilakukan. Dialog melalui radio dipergunakan sebagai media untuk memberikan penjelasan objektif tentang apa yang sebenarnya terjadi di Umbul Wadon, sehingga distorsi dan manipulasi informasi dapat ditekan.
Konflik yang terjadi di umbil wadon di sleman yokyakarta apabila kita kaji bahwa unsur keterkaitan dengan pihak berkepentingan sangatlah besar ada beberapa kesimpulan yang dapat kami sampaikan antara lain :
Pembanguan proyek Proyek Pengembangan Sistem Penyediaan Air Bersih P2SPAB) di sleman belum memiliki izin amdal (Analisis mengenai dampak lingkungan ) dan jelas bertentangan dengan pasal 15 UU Nomor 23/1997.
Padahal amdal merupakan salah satu pokok kelengkapan untuk mendapatkan izin pelaksanaan proyek dari instansi pemerintah, baik Pemerintah Daerah (Pemda) Tingkat II Sleman maupun Pemda Tingkat I Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Adanya kepentingan pihak pemerintah daerah dalam proyek pembangunan PDAM di Sleman mengedepankan Pendapatan Asli daerah tanpa memikirkan kepentingan masyarakat umum.

Analisa Masalah

Bahwa dalam pembangunan proyek air di umbul wadon banyak menyisakan masalah antara lain :

1. Bahwa PDAM yang melakukan kegiatan pengambilan air di umbul wadon belum mengantongi izin Amdal (Analisa mengenai dampak lingkungan) ,dimana PDAM pada saat pemasangan pipa penduduk sekitar tidak mengetahui pemilik proyek dan tujuan proyek pemasangan pipa tersebut belakangan baru diketahui bahwa pipa tersebut pembangunan milik PDAM Sleman.

Masalah Amdal tersebut telah ditegaskan dalam Pasal 15 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1997 yang menyebutkan bahwa “setiap rencana usaha dan atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan.

Dalam proses pembuatan AMDAL ini, masyarakat ikut berperan serta, peran sertanya dapat dilakukan secara individu ataupun kelompok, dapat dilakukan mulai pada waktu ada pengumuman rencana pembangunan suatu proyek kepada masyarakat, penyusunan kerangka acuan, penyusunan Amdal, dan penelitian Amdal. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 34 ayat (1) PP No. 27 Tahun 1999 yang menyebutkan “warga masyarakat yang berkepentingan wajib dilibatkan dalam proses penyusunan kerangka acuan, penilaian kerangka acuan, analisis dampak lingkungan, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup”.

Bila kita mengaitkan UU OTDA dengan AMDAL, maka bias kita dapatkan analisa sebagai berikut :

Paradigma berpikir dalam penataan otonomi daerah seyogyanya bertitik tolak dari 3 (tiga) hal pokok, yaitu: konsep otonomi daerah, dasar kerakyatan dan sistem pelayanan publik. Berikut akan dijelaskan hal-hal pokok dalam otonomi daerah tersebut.

Pertama, konsep otonomi daerah berkaitan dengan cara pembagian secara vertikal kekuasan pemerintahan. Alasan ini terkesan mendasari cara berpikir UU No. 32 Tahun 2004, yang menggeser paradigma otonomi daerah menurut pasal (1) c UU No. 5 Tahun 1974 sebagai “hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri”, menjadi seperti yang diformulasikan dalam pasal (1) h UU No. 32 Tahun 2004 yaitu “kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat”. Dalam hubungannya dengan konsep otonomi daerah, pasal 4 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota masing-masing memiliki pembagian urusan pemerintahan (Pasal 13 dan Pasal 14).

Kedua, dasar kerakyatan dalam desentralisasi. Konsep otonomi daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004 telah memberikan penekanan pada 2 (dua) variabel penting dalam teori desentralisasi yaitu pertama, kewenangan daerah dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dan kedua, aspirasi masyarakat yang harus menjadi acuan dalam penggunaan kewenangan daerah otonom.

Ketiga, sistem pelayanan publik yang efektif dan efisien adalah prinsip dasar dari desentralisasi. Hal itu ditegaskan dalam definisi otonomi daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004 dengan istilah “mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat”. Implikasi dari pengaturan itu adalah antara lain alokasi dana perimbangan yang mampu mendukung kapasitas pelayanan (service capacity) Pemerintah Daerah.

2. Apabila kita kaitkan masalah pemberian ijin eksploitasi mata air Umbul wadon di Sleman dengan UU No 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik menurut kami ada beberapa yang pelu disampaikan :

Bahwa pada pembangunan proyek di umbul wadon pemerintah daerah telah mengabaikan UU No.25 Tahun 2009 .
Pasal 1 ayat 1 dan 2
 Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
 Penyelenggara pelayanan publik yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik.

Pasal 39 ayat 1 dan 2
 Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dimulai sejak penyusunan standar pelayanan sarnpai dengan evaluasi dan pemberian penghargaan.
 Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan dalam bentuk kerja sama, pemenuhan hak dan kewajiban masyarakat, serta peran aktif dalam penyusunan kebijakan pelayanan publik.




SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Peran serta masyarakat dalam pelaksanaan otonomi daerah sampai saat ini masih bersifat semu belum dapat berjalan dengan sempurna dan sering diabaikan.
2. Konsepsi esensial yang perlu diterapkan dalam menyikapi peran serta masyarakat yang sering diabaikan pemerintah dalam penerapan otonomi daerah adalah :

a. Otonomi daerah harus memberikan kesempatan seluas-luasnya dan mampu menumbuhkan kedaulatan rakyat;
b. Otonomi daerah harus mampu menempatkan kebhinekaan sebagai modal dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan bukan memposisikan perbedaan dan pluralistik sebagai kendala yang menghambat pembangunan;
c. Otonomi daerah harus memperoleh porsi besar dalam pemberian otonomi melalui berbagai regulasi yang mampu mengubah peredaran uang yang terkonsentrasi di pusat untuk didistribusikan keseluruh daerah nusantara.
d. Otonomi daerah harus memperhatikan peran serta masyarakat dalam AMDAL yang merupakan bagian terpenting dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan


Saran


Untuk menanggulangi peran serta masyarakat yang seringkali diabaikan oleh pemerintah selaku penentu kebijakan dalam pelaksanaan otonomi daerah sampai sekarang ini sangat diperlukan sebuah jaminan bahwa apa yang menjadi kebutuhan dan aspirasi masyarakat tertuang dalam kebijakan publik berdasarkan sebuah peraturan daerah yang partisipatif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar