Kamis, 29 Oktober 2009

Hukum Perdata Internasional

BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan salah satu negara dengan masyarakat yang pluralistik dengan beragam suku dan agama. Ini tercermin dari semboyan bangsa Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Dalam kondisi keberagaman seperti ini, bisa saja terjadi interaksi sosial di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda yang kemudian berlanjut pada hubungan perkawinan.
Perkawinan merupakan peristiwa yang sangat penting dalam masyarakat. Dengan hidup bersama, kemudian melahirkan keturunan yang merupakan sendi utama bagi pembentukan negara dan bangsa. Mengingat pentingnya peranan hidup bersama, pengaturan mengenai perkawinan memang harus dilakukan oleh negara. Di sini, negara berperan untuk melegalkan hubungan hukum antara seorang pria dan wanita.
Seiringan dengan berkembangnya masyarakat, permasalahan yang terjadi semakin kompleks. Berkaitan dengan perkawinan, belakangan ini sering tersiar dalam berbagai media terjadinya perkawinan yang dianggap problematis dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai contoh, perkawinan campuran. perkawinan sejenis, kawin kontrak, dan perkawinan antara pasangan yang memiliki keyakinan (agama) yang berbeda. Walaupun perkawinan campuran dan perkawinan beda-agama sama sekali berbeda, bukan tidak mungkin pada saat yang sama perkawinan campuran juga menyebabkan perkawinan beda-agama. Hal ini disebabkan karena pasangan yang lintas negara juga pasangan lintas agama.
Selain permasalahan yang berhubungan dengan pengakuan negara atau pengakuan dari kepercayaan/agama atas perkawinan, pasangan yang melaksanakan perkawinan tersebut seringkali menghadapi masalah-masalah lain di kemudian hari, terutama untuk perkawinan beda-agama. Misalnya saja, pengakuan negara atas anak yang dilahirkan, masalah perceraian, pembagian harta ataupun masalah warisan. Belum lagi, dampak-dampak lain, seperti berkembangnya gaya hidup kumpul kebo atau hidup tanpa pasangan yang terkadang bisa dipicu karena belum diterimanya perkawinan beda-agama.
Biasanya, untuk mencegah terjadinya perkawinan beda-agama yang masih belum diterima dengan baik oleh masyarakat, biasanya salah satu pihak dari pasangan tersebut berpindah agama atau mengikuti agama salah satu pihak sehingga perkawinannya pun disahkan berdasarkan agama yang dipilih tersebut. Walaupun demikian, di tengah-tengah masyarakat, pro-kontra pendapat terjadi sehubungan dengan perkawinan beda-agama ini. Salah satu pendapat mengatakan bahwa masalah agama merupakan masalah pribadi sendiri-sendiri sehingga negara tidak perlu melakukan pengaturan yang memasukkan unsur-unsur agama. Namun, di pihak lain, ada yang berpendapat bahwa perkawinan beda-agama dilarang oleh agama sehingga tidak dapat diterima.



I.2 Perumusan Masalah
Setelah mencermati latar belakang masalah, maka penulis akan merumuskan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini. Adapun masalah tersebut dapat penulis rumuskan “Bagaimanakah Keabsahan Kawin Beda Agama di Indonesia Berdasarkan Pandangan Hukum Nasional dan Hukum Islam?”

I.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan Penulisan :
Berdasarkan kepada Latar Belakang Masalah sebagaimana yang telah ditulis sebelumnya, maka penulisan ini bertujuan untuk memberi gambaran tentang Keabsahan Kawin Beda Agama di Indonesia.
Manfaat Penulisan :
Makalah ini disusun dengan tujuan agar kita para Mahasiswa yang mengambil jurusan Fakultas Hukum mengerti bagaimana pandangan hukum di Indonesia dalam menanggapi permasalahan kawin beda agama. Khususnya bagi Mahasiswa Hukum yang mendalami bidang Hukum Perdata Internasional.

I.4 Sistematika Penulisan
Dalam Penulisan makalah ini, penulis membaginya kedalam tiga bab. Dimana antara bab yang satu dengan bab yang lain saling berkaitan. Uraian dari masing-masing bab tersebut adalah sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan makalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika Penulisan.
BAB II : ISI PENELITIAN
Dalam bab ini penulis akan menguraikan tentang asas-asas, pengertian dan tujuan perkawinan. Pandangan hukum nasional Indonesia dan hukum Islam dalam menanggapi perkawinan beda agama.
BAB III : PENUTUP
Dalam bab ini penulis akan mengambil beberapa kesimpulan dari hasil penulisan serta memberikan saran-saran sesuai dengan hasil penulisan dan kemampuan penulis.








BAB II
ISI PENELITIAN

II.1 Asas-Asas, Pengertian dan Tujuan Perkawinan
Asas-Asas Perkawinan
Beberapa asas perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 dapat diperinci dan diuraikan kedalam beberapa asas. Asas-asas ini mendasari ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang dan peraturan-peraturan pelaksanaannya.
Adapun asas-asas yang akan di jelaskan adlah asas-asas perkawinan yang ada hubungannya dengan perkawinan beda agama.
1. Perkawinan Monogami
2. Kebebasan Berkehendak
3. Pengakuan Kelamin Secara Kodrati
4. Tujuan Perkawinan
Setiap perekawinan harus mempunyai tujuan membentuk keluarga/rumah tangga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
5. Perkawinan Kekal
6. Perkawinan Menurut Hukum Agama
Perkawinan hanya sah apabila dilakukan menurut hukum agama yang dianut oleh pihak yang akan kawin itu. Pihak yang akan kawin itu adalah pria dan wanita. Kedua-duanya menganut agama yang sama. Jika kedua-duanya itu berlainan agama, maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan, kecuali apabila salah satunya ikut menganut agama pihak lainnya.
7. Perkawinan Terdaftar
8. Kedudukan Suami-Istri Seimbang
9. Poligami Sebagai Pengecualiaan
10. Batas Minimal Usia Kawin
11. Membentuk Keluarga Sejahtera
12. Larangan dan Pembatalan Perkawinan
13. Tanggung Jawab Perkawinan dan Perceraian
14. Kebebasan Mengadakan Janji Perkawinan
15. Pembedaan Anak sah dan Tidak Sah
16. Perkawinan Campuran
Perkawinan campuran terjadi apabila pria dan wanita yang kawin itu berlainan kewarganegaraan dan salah satunya adalah warga negara Indonesia. Berlainan agama bukan perkawinan campuran, dan tidak dapat dilakukan perkawinan.
17. Perceraian Dipersulit
18. Hubungan dengan Pengadilan
Pengertian Perkawinan
Menurut ketentuan pasal 1 Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 (selanjutnya disebut UUP), perkawinan ialah Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri.
Ikatan lahir adalah hubungan formal yang dapat dilihat karena dibentuk menurut undang-undang, hubungan mana mengikat kedua pihak dan pihak lain dalam masyarakat.
Ikatan batin adalah hubungan tidak formal yang dibentuk dengan kemauan bersama yang sungguh-sungguh, yang mengikat kedua pihak saja.
Antara seorang pria dan seorang wanita, artinya dalam masa ikatan lahir batin itu hanya terjadi antara seorang yang berjenis kelamin pria dan seorang yang berjenis kelamin wanita saja. Jenis kelamin ini adalah kodrat (karunia Tuhan), bukan bentukan manusia.
Suami istri adalah fungsi masing-masing pihak sebagai akibat dari adanya ikatan lahir batin. Tidak ada ikatan lahir batin berarti tidak pula ada fungsi sebagai suami istri.
Tujuan Perkawinan
Menurut ketentuan pasal 1 UUP, tujuan perkawinan ialah membentuk keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Membentuk keluarga artinya membentuk kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anak.
Membentuk rumag tangga artinya membentuk kesatuan hubungan suami istri dalam wadah yang disebut rumah kediaman bersama.
Bahagia artinya ada kerukunan dalam hubungan antara suami dan istri, atau antara suami, istri, dan anak-anak dalam rumah tangga.
Kekal artinya berlangsung terus menerus seumur hidup dan tidak boleh diputus begitu saja atau dibubarkan menuruk kehendak pihak-pihak.
Perkawinan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, artinya perkawina tidak terjadi begitu saja menurt kemauan pihak-pihak, melainkan sebagai karunia Tuhan kepada manusia sebagai makhluk beradab.
Dalam pasal 1 UUP rumusan perkawinan sekaligus mencakup tujuan. Lengkapnya adalah “ Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

II.2 Hukum Perkawinan Beda Agama di Indonesia
Hukum Nasional
1. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Dalam konsepsi hukum perdata Barat, perkawinan hanya dipandang sebagai hubungan keperdataan saja. Artinya, tidak ada campur tangan dari Undang-undang terhadap upacara-upacara keagamaan yang melangsungkan perkawinan. Undang-undang hanya mengenal perkawinan perdata, yaitu perkawinan yang dilangsungkan di hadapan seorang pegawai catatan sipil.
Demikian juga dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang berlaku di Indonesia. Untuk melangsungkan sebuah perkawinan, hanya dibutuhkan dua macam syarat, yaitu:

1. Syarat materil, yang merupakan inti dalam melangsungkan perkawinan pada umumnya. Syarat ini meliputi:
A. Syarat materil mutlak yang merupakan syarat yang berkaitan dengan pribadi seseorang yang harus diindahkan untuk melangsungkan perkawinan pada umumnya. Syarat itu meliputi:
1. Monogami, bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami (Pasal 27 KUHPerdata).
2. Persetujuan dari calon suami dan istri (Pasal 28 KUHPerdata).
3. Interval 300 hari bagi seorang wanita yang pernah kawin dan ingin kawin kembali (Pasal 34 KUHPerdata).
4. Harus ada izin dari orangtua atau wali bagi anak-anak yang belum dewasa dan belum pernah kawin (Pasal 35 – Pasal 49 KUHPerdata.
B. Syarat materil relatif, yaitu ketentuan yang merupakan larangan bagi seseorang untuk kawin dengan orang tertentu, yang terdiri atas 2 macam:
1. Larangan kawin dengan keluarga sedarah.
2. Larangan kawin karena zinah
3. Larangan kawin untuk memperbaharui perkawinan setelah
adanya perceraian, jika belum lewat waktunya satu tahun.
2. Syarat formal, yaitu syarat yang harus dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan mencakup pemberitahuan ke pegawai Catatan Sipil (Pasal 50 – 51 KUHperdata).

2. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Dengan berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, (UU Perkawinan) maka semua perundang-undangan perkawinan Hindia Belanda dinyatakan tidak berlaku lagi. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 66 UU Perkawinan.
Menurut Pasal 1 UU Perkawinan, perkawinan adalah sebuah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari pasal ini, tersirat bahwa perkawinan yang berlaku di Indonesia adalah perkawinan antara seorang pria dan wanita saja. Selanjutnya, dalam Pasal 2 Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa perkawinan dianggap sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan para pihak. Setelah perkawinan dilakukan, perkawinan tersebut pun harus dicatatkan, dalam hal ini pencatatan di Kantor Urusan Agama (KUA) dan Catatan Sipil.
Pasal 6 UU Perkawinan menetapkan beberapa persyaratan untuk melakukan perkawinan, yaitu:
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2. Bila calon mempelai belum mencapai umur 21 tahun, maka ia harus mendapat izin kedua orangtua atau salah satunya bila salah satu orangtua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya. Apabila keduanya telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
3. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut di atas atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin melakukan perkawinan.
4. Ketentuan di atas tidak bertentangan atau tidak diatur lain oleh hukum rnasing-masing agamanya dan kepercayaannya yang bersangkutan.

Sementara, untuk larangan kawin, UU Perkawinan (Pasal 8) hanya prinsipnya hanya melarang terjadinya perkawinan yang keduanya memiliki hubungan tertentu, baik hubungan sedarah, semenda, susuan atau hubungan-hubungan yang dilarang oleh agamanya atau peraturan lain.
UU Perkawinan memandang perkawinan tidak hanya dilihat dari aspek formal semata-mata, melainkan juga dari aspek agama. Aspek agama menetapkan tentang keabsahan suatu perkawinan, sedangkan aspek formalnya menyangkut aspek administratif, yaitu pencatatan perkawinan. Menurut UU Perkawinan, kedua aspek ini harus terpenuhi keduanya. Bila perkawinan hanya dilangsungkan menurut ketentuan Undang-undang negara, tanpa memperhatikan unsur agama, perkawinan dianggap tidak sah. Sebaliknya, apabila perkawinan dilakukan hanya memperhatikan unsur hukum agama saja, tanpa memperhatikan atau mengabaikan Undang-undang (hukum negara), maka perkawinan dianggap tidak sah.
Hukum Islam
Indonesia yang penduduknya mayoritas beragama Islam, turut menunjang terbentuknya hukum perkawinan Islam. Dan di dalam hukum tersebut terdapat aturan-taruran yang menyangkut kawin beda agama.
Fatwa MUI Tentang Kawin Beda Agama
Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor : 4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama. Berdasarkan beberapa pertimbangan yang sering terjadi di Indonesia tentang perkawinan beda agama, MUI membuat analisis tentang pengaruh kawin beda agama bagi pasangan dan masyarakat maka MUI membuat fatwa berdasarkan Al-Qur’an, Hadist dan Kaidah Fiqh. Dan menghasilkan suatu kesimpulan, yaitu :
1. Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah.
2. Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut
qaul mu'tamad, adalah haram dan tidak sah.
Adapun dalil-dalil yang menguatkan fatwa MUI itu adalah sebagai berikut :


Firman Allah SWT :
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak- hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawini-nya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. al-Nisa [4] : 3);
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (QS. al-Rum [3] : 21);
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperlihatkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
(QS. al- Tahrim [66]:6 );
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi. (QS. al-Maidah [5] : 5);
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita yang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun ia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (QS. al-Baqarah [2] : 221)
Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Alllah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka jangalah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya diantara kamu. Dan Allah maha mengetahui dan maha bijaksana (QS. al-Mumtahianah [60] : 10).
Dan barang siapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, Ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizing tuan mereka dan berilah mas kawin mereka menurut yang patut, sedang mereka pun wanita-wanita yang memelihara diri bukan pezina dan bukan (pula) wanita-wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separuh hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut pada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) diantaramu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengamun dan Maha Penyayang.
(QS. al-Nisa [4] : 25).
Hadis-hadis Rasulullah s.a.w :
Wanita itu (boleh) dinikahi karena empat hal : (i) karena hartanya; (ii) karena (asal-usul) keturunannya; (iii) karena kecantikannya; (iv) karena agama. Maka hendaklah kamu berpegang teguh (dengan perempuan) yang menurut agama Islam; (jika tidak) akan binasalah kedua tangan-mu (Hadis riwayat muttafaq alaih dari Abi Hurairah r.a);
Qa'idah Fiqh :
Mencegah kemafsadatan lebih didahulukan (diutamakan) dari pada menarik kemaslahatan.

II.3 Status Perkawinan Beda Agama Dalam Hukum Nasional
UU Perkawinan tidak memberi larangan yang tegas mengenai perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang memiliki agama/keyakinan yang berbeda. Hal ini menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda di kalangan masyarakat. Sebagian berpendapat bahwa perkawinan tersebut tidak sah karena tidak memenuhi baik ketentuan yang berdasarkan agama, maupun berdasarkan Undang-undang negara. Sementara, di sisi lain, ada pihak yang berpendapat berbeda. Perkawinan antara pasangan yang berbeda-agama sah sepanjang dilakukan berdasarkan agama/keyakinan salah satu pihak.
Pakar Hukum Indonesia menyebutkan ada 4 cara yang populer ditempuh oleh pasangan beda-agama agar pernikahannya dapat dilangsungkan, yaitu:
Pertama, meminta penetapan pengadilan terlebih dahulu. Atas dasar penetapan itulah pasangan melangsungkan pernikahan di Kantor Catatan Sipil. Tetapi cara ini tak bisa lagi dilaksanakan sejak terbitnya Keppres No. 12 Tahun 1983.
Kedua, perkawinan dilangsungkan menurut hukum masing-masing agama. Perkawinan terlebih dahulu dilaksanakan menurut hukum agama seorang mempelai (biasanya suami), baru disusul pernikahan menurut hukum agama mempelai berikutnya. Permasalahannya perkawinan mana yang dianggap sah.
Ketiga, kedua pasangan menentukan pilihan hukum. Salah satu pandangan menyatakan tunduk pada hukum pasangannya. Dengan cara ini, salah seorang pasangan 'berpindah agama' sebagai bentuk penundukan hukum.
Keempat, yang sering dipakai belakangan, adalah melangsungkan perkawinan di luar negeri.
Untuk cara yang keempat, UU Perkawinan memberikan ruang yang dapat digunakan sebagai sarana untuk melegalkan perkawinan tersebut. Pasal 56 UU Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warganegara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan, bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-undang ini. Selanjutnya disebutkan bahwaa dalam waktu 1 tahun setelah suami dan isteri tersebut kembali ke wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka.
Namun, perkawinan yang demikian tetap saja tidak sah sepanjang belum memenuhi ketentuan yang diatur oleh agama. Artinya, tetap perkawinan yang berlaku bagi warga negara Indonesia harus memperhatikan kedua aspek, yaitu aspek Undang-undang dan aspek hukum agama.
Para pemerhati terbelah ke dalam dua arus utama. Ada yang menganggap perkawinan itu sah. Syaratnya, pasangan nikah beda agama mencatatkan perkawinan mereka ke Kantor Catatan Sipil paling lambat satu tahun setelah kembali ke Indonesia. Ini sesuai dengan ketentuan pasal 56 UU No. 1 Tahun 1974. Konsorsium Catatan Sipil selama ini menganut pandangan bahwa perkawinan tidak boleh dilarang karena perbedaan asal usul, ras, agama, atau keturunan.
Pendapat sebaliknya menganggap perkawinan itu tidak sah karena tidak memenuhi syarat pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974. Meskipun tidak sah menurut hukum Indonesia, Catatan Pilil tetap menerima pendaftaran perkawinan tersebut. Pencatatan di sini bukan dalam konteks sah tidaknya perkawinan, melainkan sekedar pelaporan administratif.
Pada prinsipnya sebuah perkawinan sah secara hukum apabila memenuhi kedua syaratnya, baik syarat materiil maupun formil. Di Indonesia, syarat sahnya perkawinan di atur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Undang-undang ini, tepatnya dalam pasal 2 diatur bahwa sebuah perkawinan sah secara hukum apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan dari masing-masing pihak yang akan menikah dan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Syarat materiil dari sebuah perkawinan yang dimaksud dalam pasal ini adalah bahwa perkawinan yang akan dilakukan sah menurut agama masing-masing pihak. Jika kemudian perkawinan akan dilakukan oleh pasangan yang berbeda agama, maka kembali lihat kepada hukum agama masing-masing pihak. Dalam hal ini saya perlu sedikit menjelaskan tentang perbedaan pemahaman tentang kebolehan perkawinan beda agama dalam masing-masing ajaran agama.


-Agama Islam-
Dalam agama Islam, terdapat dua aliran yang memberikan pandangan mengenai hal ini. Aliran yang pertama menyatakan bahwa dimungkinkan adanya perkawinan beda agama. Hanya saja hal ini dapat dilakukan jika pihak pria beragama Islam, sementara pihak perempuan beragama non-islam (Al Maidah(5):5). Jika kemudian kondisinya sebaliknya, maka menurut aliran ini, perkawinan beda agama tidak dapat dilakukan (Al Baqarah(2):221). Di sisi yang lain, aliran yang satunya lagi menyatakan bahwa dalam agama Islam, apapun kondisinya, perkawinan beda agama tidak dapat dilakukan (Al-Baqarah [2]:221).
-Agama Kristen-
Dalam agama Kristen (Protestan) perkawinan beda agama tidak dapat dilakukan. Alasan apapun yang mendasarinya, dalam agama ini perkawinan beda agama dilarang. (I Korintus 6 : 14-18).
-Agama Katolik-
Bagi agama Katholik, pada prinsipnya perkawinan beda agama katolik tidaklah dapat dilakukan, Hal ini dikarenakan karena agama Katholik memandang perkawinan sebagai sakramen. Namun kemudian pada tiap gereja katolik pasti ada proses dispensasi yang memungkinkan terjadinya perkawinan beda agama.
-Agama Buddha-
Dalam agama Buddha sebenarnya perkawinan beda agama tidaklah terlalu bermasalah. Hanya saja, memang disarankan untuk satu agama. Hal ini disebabkan pertimbangan kehidupan nantinya dalam perkawinan itu sendiri.

-Agama Hindu-
Dalam agama Hindu tidak dikenal adanya perkawinan beda agama. Hal ini terjadi karena sebelum perkawinan harus dilakukan terlebih dahulu upacara keagamaan. Apabila salah seorang calon mempelai tidak beragama Hindu, maka dia diwajibkan sebagai penganut agama Hindu, karena kalau calon mempelai yang bukan Hindu tidak disucikan terlebih dahulu dan kemudian dilaksanakan perkawinan (Ketentuan Seloka V89 kitab Manawadharmasastra).
Dari penjelasan singkat diatas, maka dapat kita lihat apakah kemudian perkawinan beda agama yang akan dilakukan memenuhi persyaratan materiilnya (sesuai agama masing-masing pihak).
Hal yang selanjutnya harus diperhatikan adalah apakah secara formil perkawinan beda agama tersebut telah memenuhi persyaratan. Di Indonesia, sebuah perkawinan wajib di daftarkan (di catat) di instansi yang telah ditentukan (KUA bagi pasangan beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil bagi pasangan yang beragama Non-Islam). Dalam hal ini setiap pasangan yang akan mencatatkan perkawinannya wajib memilih salah satu instansi ini.
Berdasarkan UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, di Indonesia tidak dimungkinkan untuk melakukan perkawinan beda agama. Yang kemudian mungkin dapat dilakukan adalah melakukan perkawinan beda agama di luar negeri kemudian mencatatkan perkawinan tersebut di KUA / Kantor Catatan Sipil



BAB III
PENUTUP

III.1 Kesimpulan
Sebelum Penulis mengakhiri penulisan makalah ini, maka terlebih dahulu Penulis akan memberikan kesimpulan atas uraian maupun pembahasan dari penelitian ini sebagai berikut:
Perkawinan di Indonesia diatur oleh UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Berdasarkan UU tersebut perkawinan di definisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Oleh karenanya dalam UU yang sama diatur bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu serta telah dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Namun bagaimana dengan perkawinan beda agama. Perkawinan beda agama bukanlah perkawinan campuran dalam pengertian hukum nasional kita karena perkawinan campuran menurut UU Perkawinan disebut sebagai perkawinan yang terjadi antara WNI dengan WNA. Akan tetapi perkawinan beda agama di masyarakat sering pula disebut sebagai perkawinan campuran. Untuk memudahkan, tulisan ini hanya akan menggunakan istilah perkawinan beda agama
UU Perkawinan sendiri penafsiran resminya hanya mengakui perkawinan yang dilangsungkan berdasarkan agama dan kepercayaan yang sama dari dua orang yang berlainan jenis yang hendak melangsungkan perkawinan. Dalam masyarakat yang pluralistik seperti di Indonesia, sangat mungkin terjadi perkawinan diantara dua orang pemeluk agama yang berlainan. Beberapa diantara mereka yang mempunyai kelimpahan materi mungkin tidak terlampau pusing karena bisa menikah di negara lain, namun bagaimana yang kondisi ekonominya serba pas-pasan. Tentu ini menimbulkan suatu masalah hukum
Ada dua cara dalam menyikapi perkawinan beda agama ini:
Pertama: Salah satu pihak dapat melakukan perpindahan agama, namun ini dapat berarti penyelundupan hukum, karena sesungguhnya yang terjadi adalah hanya menyiasati secara hukum ketentuan dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun setelah perkawinan berlangsung masing-masing pihak kembali memeluk agamanya masing-masing. Cara ini sangat tidak disarankan.
Kedua: Berdasarkan Putusan MA No 1400 K/Pdt/1986 Kantor Catatan Sipil diperkenankan untuk melangsungkan perkawinan beda agama. Kasus ini bermula dari perkawinan yang hendak dicatatkan oleh Ani Vonny Gani P (perempuan/Islam) dengan Petrus Hendrik Nelwan (laki-laki/Kristen).
Dalam putusannya MA menyatakan bahwa dengan pengajuan pencatatan pernikahan di KCS maka Vonny telah tidak menghiraukan peraturan agama Islam tentang Perkawinan dan karenanya harus dianggap bahwa ia menginginkan agar perkawinannya tidak dilangsungkan menurut agama Islam. Dengan demikian, mereka berstatus tidak beragama Islam, maka KCS harus melangsungkan perkawinan tersebut.
Nah putusan ini, secara sekilas hanya berlaku bila perempuan yang beragama Islam dan Laki-laki yang beragama Nasrani hendak melangsungkan perkawinan. Lalu bagaimana dengan bila sebaliknya? Secara argumentum a contrario maka KUA wajib melangsungkan perkawinannya, karena perempuan yang beragama Nasrani tidak lagi menghiraukan statusnya yang beragama Nasrani. Oleh karena itu melakukan penundukkan hukum secara jelas kepada seluruh Hukum Islam yang terkait dengan perkawinan.
Dengan ini, dari semula pasangan yang berbeda agama tidak perlu melakukan penyelundupan hukum dengan mengganti agama untuk sementara, namun bisa melangsungkan perkawinan tanpa berpindah agama.

1. Pernikahan beda agama di Indonesia belum bisa dilakukan karena UUP di Indonesia belum mengesahkan atau membolehkan pernikahan beda agama tersebut.
2. berdasarkan hukum Islam, pernikahan beda agama itu hukumnya adalah haram. Sehingga dengan sendirinya pernikahan beda agama itu di larang dalam agama Islam.
3. Kekuatan hukum kawin beda agama di Indonesia sangat rapuh, walaupun di negara lain di akui. Karena perkawinan itu hanya dianggap sebagai pelaporan administratif.
III.2 Saran
Terakhir, Penulis ingin pula menyampaikan saran-saran sebagai berikut :
1. Selaku masyarakat Indonesia hendaknya kita taat akan hukum yang berlaku di Negara Indonesia. Karena tanpa adanya ketaatan dari rakyat Indonesia sendiri, hukum di Indonesia tidak akan berguna sama sekali.
2. Untuk menghindari masalah pada saat pernikahan, hendaknya pihak yang menikah harus terlebih dahulu menyamakan keyakinan dan hukum yang di pegang.
3. Indonesia mengakui HAM, namun yang tidak bertentangan dengan UU yang berlaku di Indonesia.
4. Untuk menciptakan suatu keharmonisan dalam hidup bermasyarakat, hendaknya kita selalu berpegang teguh pada peraturan-peraturan yang berlaku di Indonesia.

Demikian penulisan makalah ini Penulis akhiri, semoga bermanfaat bagi seluruh penbaca, dan khususnya bagi Penulis.







DAFTAR KEPUSTAKAAN



Abdulkadir, Muhamad, Hukum Perdata Indonasia (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2000), h. 70-75
Undang-undang No1 tahun 1974
www.google.co.id
www.tblog.com
www.multiply.com
www.journal.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar