Kamis, 29 Oktober 2009

Ekonomi Pembangunan

B A B I

P E N D A H U L U A N

1.1 LATAR BELAKANG

Menjelang berakhirnya abad 20, banyak spekulasi muncul mengenai prospek perekonomian dunia. Yang optimis berpendapat pada dekade 1990 perekonomian global akan mengalami masa ”boom”, misalnya yang dikemukakan oleh John Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam buku laris mereka : Megatrend 2000. Di lain pihak, ada yang semakin khawatir dengan masa depan planet ini. Fenomena seperti menyebarnya penyakit AIDS, jatuhnya bursa saham Wall Sreet, krisis utang luar negeri, bolongnya lapisan ozon, kelaparan di Afrika, praktik proteksionis yang muncul kembali di tengah promosi perdagangan bebas, tidak menentunya harga minyak dan produksi premier lain, serta sederet daftar ”suram” lain membuat sementara orang cenderung bersikap pesimis. Ravi Batra (1989), antara lain, memprediksi bahwa akan terjadi depresi besar kembali pada dasawarsa 1990.

Di Indonesia sendiri, masa ini sedang berlangsung. Dimana perekonomian Indonesia semakin tidak menentu dari masa ke masa. Hal ini dapat di lihat dari banyaknya beban hutang luar negeri Indonesia yang belum terbayar hingga saat ini.


1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang dimaksud dengan sistem ekonomi berada dalam transisi?

2. Apa yang dimaksud dengan Sistem Ekonomi Pancasila?

3. Jelaskan kritik utama yang dilontarkan terhadap SEP!

4. Ada pendapat yang mengatakan, ”Sistem Ekonomi Indonesia adalah sistem kapitalis yang malu-malu namun juga sistem sosialisme ragu-ragu”. Jelaskan komentar Anda tentang pernyataan ini!

5. Jelaskan alternatif sumber pembiayaan pembangunan Indonesia! Manakah yang paling dominan menopang pembiayaan pembangunan Indonesia?

6. Mengapa negara donor bersedia menyalurkan bantuan luar negeri ke Indonesia? Sebaliknya, mengapa Indonesia mengundang modal asing?

7. Apa yang dimaksud dengan overborrowing? Sudahkah posisi utang luar negeri Indonesia berada dalam taraf overborrowing?

8. Jelaskan beratnya beban pembayaran utang luar negeri Indonesia dengan berbagai macam indikator!

9. Jelaskan langkah-langkah yang perlu dilakukan agar Indonesia tidak terjebak dalam “Perangkap utang luar negeri”!

1.3 TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan maksud dari sistem ekonomi dalam transisi, serta mengkaji sumber dan struktur pembiayaan pembangunan Indonesia. Bagaimanakah beban utang luar negeri Indonesia pada era sebelum dan sesudah milenium?

1.4 MANFAAT PENELITIAN

Penulisan makalah ini berfungsi untuk mendapatkan gambarang yang riil tentang perubahan sistem ekonomi di dunia dan dampak dari utang luar negeri bagi pembangunan bangsa Indonesia. Dengan adanya gambaran tersebut diharapkan mahasiswa dan pembaca sekalian bisa membuat suatu pola pikir tentang upaya-upaya yang akan mereka lakukan untuk bangsa dan negara Indonesia kedepannya.

BAB II

PEMBAHASAN MASALAH

2.1 SISTEM EKONOMI DALAM TRANSISI

2.1.1 Perestroika

Tahun 1985 merupakan starting point bagi perubahan dramatis dalam blok negara–negara komunis. Presiden Mikhail Gorbachev, pada tahun tersebut, mengumumkan keinginannya untuk melakukan reformasi yang “radikal” terhadap struktur politik, masyarakat, dan Perekonomian Uni Soviet. Selama ini Soviet selalu dijadikan contoh utama negara yang menerapkan sistem sosiallisme dengan perencanaan terpusat. Sejak pertengahan dasawarsa 1970-an, ekonomi Soviet mengalami masalah ekonomi yang serius namun tidak ada keinginan untuk melakukan reformasi ekonomi. Ajakan Gorbachev untuk melakukan reformasi besar–besaran, mula–mula ditanggapi dengan sikap skeptis oleh rakyat Soviet. Gorbachev tanpa kenal lelah mempopoulerkan istilah glasnost, demokratisasi, dan perestroika. Ketiga kata kunci ini merupakan bentuk reformasi radikal yang didesain untuk merombak sistem ekonomi dan politik Uni Soviet maupun Eropa Timur. Inilah bentuk reformasi yang berbeda dengan reformasi sebelumnya, yaitu: mengkombinasikan reformasi ekonomi (perestroika) dengan reformasi sosial (glasnost) dan politik (demokratisasi). Alasan Gorbachev memperkenalkan perestroika adalah karena memburuknya kinerja ekonomi Uni Soviet (lihat Tabel 01).

Tabel 01 Kinerja Ekonomi Soviet yang mendorong adanya Perestronika

Rata - rata laju pertumbuhan per tahun ( % )

1966 - 70

1971 - 75

1976 - 80

1981 - 85

1986

Produk Nasional Bruto ( GNP )

4,9

3,0

1,9

1,8

4,1

Konsumsi per kapita

4,9

3,0

1,8

N,a

-0,1

GNP tanpa pertanian & jasa

6,0

5,3

2,2

1,9

2,0

Produktivitas Faktor Produksi:

0,4

0,3

-1,6

-1,1

-0,7

* Tenaga Kerja

2,5

3,0

0,8

1,3

1,4

* Modal

-1,3

-2,1

-3,7

-3,2

-2,6

Sumber : Greogory dan Stuart ( 1992: 417 )

Perestroika dalam pelaksanaannya di lapangan melalui empat tahapan umum (Greogory & Stuart, 1992: 419 – 426), yaitu :

Fase Pertama

Fase antara tahun 1985–1987, gagasan Gorbachev mengenai reformasi radikal belum banyak dilakukan. Prinsip umum reformasi adalah desentralisasi pengambilan keputusan, meningkatnya perhatian pada faktor manusia,dan percepatan perekonomian lewat demokratisasi dan modal asing dari Barat. Kampanye anti minuman keras diluncurkan, perubahan dilakukan dalam hirarki administratif, dan pengadilan kualitas diterapkan dalam industri.

Fase Kedua

Intinya mencoba menjawab kritik atas kurangnya program reformasi yang fundamental. Para reformis Soviet memulai dengan meletakkan landasa hukum sebagai dasar reformasi ekonomi yang dilakukan.

Fase Ketiga

Ditandai dengan percobaan kudeta pada bulan Agustus 1991. UU tentang Perusahaan, Patungan, dan lain – lain pendukung perestroika hanya efektif bila aturan main dalam pasar diketahui dan secara seragam diterapkan dalam transaksi bisnis. Alokasi pasar tidak mungkin diterapkan dalam ekonomi komando. Pada gilirannya, ini memerlukan sejumlah “ Aturan main “, seperti pelaksanaan kontrak, definisi hak – hak kepemilikan, kebebasan menetapkan harga, dan hal lain semacam itu.

Fase Keempat

Periode reformasi ekonomi dalam era pasca kudeta Augustus 1991. Kendati para penganjur reformasi selalu mendengungkan perlunya penciptaan institusi pasar, kenyataan implementasinya masih belum jelas. Apalagi jadwal waktunya tidak ditentukan. Implementasi mengharuskan para pemimpin Soviet menangani isu yang paling fundamental, yaitu : mendefinisikan sistem ekonomi dan politik, termasuk hak – hak kepemilikan, hukum sipil, dan pemisahan fungsi ekonomi dan politik: dengan kata lain: isu privatisasi

2.1.2 Reformasi di Eropa Timur

Terjadi awal dasawarsa 1990-an, ditandai dengan bubarnya negara Uni Soviet dan semakin “ terbuka “ –nya negara–negara Eropa Timur. Ini memperkuat anggapan bahwa sosialisme dan komunisme tidak banyak diharapkan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Para penganut “ekstrim kanan”spontan mengatakan bahwa sosialime hampir pasti akan mati. Kalau itu benar berarti ramalan Naisbitt dan Aburdene (1990) akan menjadi kenyataan: negara sosialisme cepat atau lambat akan menjadi free–market socialism.

Kecepatan dan program reformasi berbeda antar negara Eropa Timur, namun pola reformasi politik dan ekonomi yang berlangsung relatif sama yaitu:

1. Setelah reformasi politik terjadi, maka program–program reformasi, ekonomi disusun.

Program reformasi ekonomi meliputi:

(a) Sejumlah kebijakan dalam masa transisi yang menekankan pada stabilisasi

ekonomi secara makro maupun mikro

(b) Privatisasi, yang intinya mengganti sistem perencana komando dengan sistem

ekonomi pasar dengan ciri: desentralisasi pengambilan keputusan, sistem pasar

mengganti sistem perencanaan, kepemilikan swasta mengganti kepemilikan

negara, dan adanya insentif upah.

2. Stabilisasi dalam skala mikro meliputi penghapusan mekanisme perencanaan dan desentralisasi pengambilan keputusan hingga tingkat perusahaan, yang dibarengi dengan disiplin keuangan yang ketat, Alokasi input berdasarkan kekuatan pasar. Sementara itu, stabilitas moneter, membatasi pengeluaran pemerintah, membatasi ekspansi upah, reorientasi perdagangan luar negeri dengan memperkenalkan gerakan bertahap menuju mata uang yang konvertibel.

3. Fokus privatisasi dalam jangka pendek adalah perusahaan–perusahaan kecil, sedang dalam jangka panjang adalah perusahaan–perusahaan besar.

2.1.3 Sistem Ekonomi Pancasila

Sistem Ekonomi Pancasila adalah “aturan main” kehidupan ekonomi atau hubungan-hubungan ekonomi antar pelaku-pelaku ekonomi yang didasarkan pada etika atau moral Pancasila dengan tujuan akhir mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Etika Pancasila adalah landasan moral dan kemanusiaan yang dijiwai semangat nasionalisme (kebangsaan) dan kerakyatan, yang kesemuanya bermuara pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Intisari Pancasila (Eka Sila) menurut Bung Karno adalah gotongroyong atau kekeluargaan, sedangkan dari segi politik Trisila yang diperas dari Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa (monotheisme), sosio-nasionalisme, dan sosio-demokrasi.

Praktek-praktek liberalisasi perdagangan dan investasi di Indonesia sejak media delapanpuluhan bersamaan dengan serangan globalisasi dari negara-negara industri terhadap negara-negara berkembang, sebenarnya dapat ditangkal dengan penerapan sistem ekonomi Pancasila. Namun sejauh ini gagal karena politik ekonomi diarahkan pada akselerasi pembangunan yang lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi tinggi ketimbang pemerataan hasil-hasilnya.

Pelopor

Di kalangan para pakar terdapat dua cara pandang terhadap SEP, yaitu:

1. Jalur yuridis formal, yang berangkat dari keyakinan bahwa landasan hukum SEP adalah pasal 33 UUD 1945, yang dilatarbelakangi oleh jiwa Pembukaan UUD 1945 dan dilengkapi oleh pasal 23,27 ayat 2, 34, serta penjelasan pasal 2 UUD 1945. Pelopor jalur ini, misalnya adalah Sri–Edi Swasono dan Potan Arif Harahap.

2. Jalur orientasi, yang menghubungkan sila–sila dalam Pancasila. Termasuk dalam kubu inilah adalah Emil Salim, Mubyarto, dan Sumitro Djojohadikusumo. Pada dasarnya mereka menafsirkan SEP sebagai sistem Ekonomi yang berorientasi pada sila I, II, III, IV dan V.

Pengkritik

Ada beberapa pendapat mengenai Sistem Ekonomi di Indonesia, yaitu:

1. Pendapat yang mengatakan bahwa sistem ekonomi indonesia bukan sistem kapitalisme maupun sosialisme. Emil Salim (1979) mengatakan bahwa SEP adalah Sistem Ekonomi pasar dengan unsur perencanaan. Dengan kata lain, sifat dasar dari kedua kutub ekstrim ini berada dalam keseimbangan. Mubyarto (1980:74) berpendapat bahwa SEP mungkin sekali berada di antara dua kutub tersebut, tapi di luarnya. Tentu saja pandangan ini mendapat banyak kritikan tajam. Frans Seda, menjuluki pandangan ini sebagai paham “bukan-isme”, yaitu paham serba bukan, bukan kapitalisme, bukan liberalisme, tidak ada monopoli, tidak ada oligopoli, tidakada persaingan bebas yang saling mematikan, dan sebagainya. Hadi Susastro menyebut orde ekonomi dari masyarakat yang di huni oleh para malaikat, masyarakat utopia. Kritikan tajam datang dari Arief Budiman (1989:4), yang mengatakan:

“Tampaknya, Mubyarto sendiri belum dapat merumuskan dengan tepat apa isi SEP-nya. Dia baru berhasil membuat pagar–pagar batas untuk mengurung ‘binatang’ yang bernama SEP, sambil sekali–kali meraba–raba dan Menerka-nerka bagaimana persisnya bentuk dan rupa ‘binatang’ ini”.

2. Pandangan Kedua melihat sistem ekonomi indonesia dalam dataran normatif maupun dataran positif. Secara normatif menurut UUD 1945, terutama pasal 33 ayat 2 dan 3, sistem ekonomi Indonesia seharusnya condong mengarah pada sosialisme. Namun, dewasa ini semakin kuatnya lapisan pengusaha dan munculnya gejala konglomerasi dan kosentrasi kekuatan ekonomi agaknya membuat tidak dapat menyangkal bahwa kapitalisme telah tumbuh subur di negeri ini. Kendati demikian, menurut pengamatan Sjahrir (1987: 162- 164), dilihat dari segi kepemilikan dan sifat pembentukan harga (lihat tabel 02), sistem ekonomi yang berlangsung di Indonesia adalah:

(1) sistem ekonomi dimana peranan negara dominan;

(2) peranan swasta, baik nasional maupun asing, tidak kecil;

(3) harga yang berlangsung pada umumnya mencerminkan inefisensi karena jauh lebih tinggi harga domestik dibanding harga internasional.

Tabel 02 Perkiraan Pemilikan Alat – alat Produksi menurut sektor – sektor

Ekonomi serta sifat pembentukan harga.

Sektor

Pemilikan

Sifat Pembentukan Harga

Pertanian

Petani untuk beras, negara dan

Pengaruh negara dominan ( Bulog,

swasta untuk tanaman ekspor

Departemen Pertanian )

Pertambangan

Negara dan Swasta ( Asing )

Ditentukan harga dunia untuk Ekspor,

ditetapkan negara untuk dalam negeri.

Industri

Negara, Swasta ( Asing dan

Sebagian ditetapkan negara, sebagian

Manufaktur

nasional )

mekanisme pasar terbatas.

Konstruksi

Swasta dan negara

Negara berpengaruh melalui APBN

Perdagangan

Swasta dan negara

Sebagian mekanisme pasar, sebagian

negara melalui "rente ekonomi"

( ditransfer ke swasta tertentu untuk ekspor)

Administrasi

Negara

Negara

Negara

Perbankan

Negara dominan ( 80 % ) dan

Pengaruh negara melalui Bank Indonesia

Swasta

dominan, sebagian mekanisme pasar

berlaku ( khususnya sektor informal )

Jasa - jasa lainnya

Swasta dan negara

Pengaruh negara dan sebagian

mekanisme pasar

Sektor – sektor

Swasta dan negara

Sebagian mekanisme pasar dan

Lainnya

sebagian pengaruh negara

2.2 UTANG LUAR NEGERI DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN INDONESIA

2.2.1 Modal Asing dalam Pembangunan

Sejarah mencatat, Negara yang tidak mempunyai tabungan dalam negeri yang cukup untuk membiayai pertumbuhan ekonomi, umumnya menutup kesenjangan pembiayan dengan mencari sumber-sumber dari luar negeri. Dengan demikian, tidak mengherankan apabila mengalir arus modal dari Negara industri ke Negara yang sedang berkembang (NSB).

Aliran ke sektor pemerintah

Karena sifatnya, arus modal asing yang harus dibayar kembali juga disebut tabungan luar negeri. Tabungan luar negri meliputi tabungan resmi ke sektor pemerintah (official savings) dan tabungan swasta (private savings) (gillis, 1983:365-366). Sebagian besar tabungan resmi berwujud konsensional. Artinya dapat berupa hibah (grants) atau pinjaman lunak (soft loans), yang biasanya berbunga rendah dengan jangka waktu pengambilan yang lebih lama. Aliran konsensional ini secara teknis disebut bantuan pembangunan resmi (ODA= official development assistance), namun lebih popular disebut bantuan luar negri (foreign aid).

Karena bantuan luar negeri banyak yang harus dibayar kembali maka umumnya disebut juga utang luar negeri. Bank dunia (1992) mengklasifikasikan total utang luar negeri menjadi : utang jangka pendek , utang jangka panjang, dan penggunaan kredit IMF merupakan kewajiban yang dapat dibelikembali (repurchase obligations) atas semua penggunaan fasilitas IMF.

Utang yang berjangka panjang dapat diperinci menurut jenis utangnya, yaitu:

1. Utang swasta yang nonguaranteed debt adalah utang yang dilakukan oleh debitur swasta, di mana utang tersebut tidak dijamin oleh institusi pemerintah.

2. Utang pemerintah adalah utang yang dilakukan oleh suatu institusi pemerintah, termasuk pemerintah pusat, departemen, dan lembaga pemerintah yang otonom.

Utang yang publicly guaranted merupakan utang yang dilakukan swasta namun dijamin pembayarannya oleh suatu lembaga pemrintah. Bagi kebanyakan NSB, jenis utang yang public and publicly guaranted yang perlu lebih mendapat perhatian karena apabila NSB tidak mampu membayar kembali utang tersebut maka pemerintah Negara tersebutlah yang menanggung akibatnya. Resiko ini tidak dijumpai untuk kategori utang swasta yang tidak dijamin oleh pemerintah karena swastalah yang harus menanggung akibatnya.

Utang yang tergolong public and publicly guranteed dapat diperinci menurut krediturnya. Selama ini kreditur (pihak yang memberikan utang) dapat berasal dari sumber resmi maupun swasta.

Utang luar negri yang berasal dari sumber resmi dibagi menjadi:

[1] pinjaman bilateral, yaitu pinjaman antar pemerintah dan lembaga pemerintah (termasuk bank sentral), misalnya bantuan pemerintah jepang kepada pemerintah Indonesia;

[2] pinjaman multilateral, yaitu pinjaman dan kredit dari lembaga keuangan internasional seperti PBB, bank dunia, IGGI bank-bank pembangunan regional, yang diberikan/pinjaman ke NSB.

Utang luar negeri yang berasal dari kreditur swasta bisa pula berwujud pinjaman dari bank-bank komersial, obligasi, dan lain-lain. Pinjaman dari bank-bank komersial adalah pinjaman dari bank-bank swasta dan lembaga keuangan lainnya. Obligasi dikeluarkan oleh lembaga pemerintah maupun swasta. Bentuk lain adalah kredit dari perusahaan manufaktur, eksportir, dan pemasok barang lainnya, serta kredit bank yang ditutup dengan jaminan lembaga kredit ekspor.

Aliran Modal ke Sektor Swasta

Tabungan swasta asing terdiri dari empat komponen.

Pertama, investasi langsung (PMA) oleh penduduk atau perusahaan asing.

Kedua, investasi portofolio, yaitu investasi keuangan yang dilakukan di luar negeri.

Ketige, pinjaman dari bank komersial (commercial bank lending) kepada pemerintah dan perusahaan NSB.

Keempat, kredit ekspor, yaitu penundaan pembayaran untu impor.

Motivasi Negara Donor

Bagi Negara donor, pemberian bantuan akan memperkuat ikatan keuangan antara Negara donor dengan penerima bantuan. Dengan kata lain, di satusisi bantuan luar negri dapat mempercepat bantuan, di sisi lain juga menimbulkan dampak perluasan permintaan barang dan jasa dari Negara pendonor. Dari sudut kepentingan politik dan geostategik nampaknya tidak perlu diragukan. Ini terlihat, misalnya bantuan pangan dan kerjasama ekonomi amerka serikat merupakan bagian integraldan tidak terpisahkan dengan kebijakan luar negerinya.

Tangung jawab moral Negara kaya kepada Negara miskin diladasi premis bahwa interdepedensi ekonomi dan politik internasional berarti memperluas keadilan social dari lingkup nasional ke internasional. Ini tercermin dari bantuan kepada Negara berebang yang harus ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) bagi sebagian besar rakyatnya, yang pada gilirannya diharapkan dapat mengangkat merekadari jurang kemiskinan.

2.2.2 Sumber-Sumber Pembiayaan Pembangunan Indonesia

Ekspor

Sebagian penganut system ekonomi terbuka, lalu lintas perdagangan Internasional berperan penting dalam perekonomian dan pembangunan di Indonesia. Seberapa jauh peran perdagangan luar negri terlihat dari rasio antara ekspor di tambah impor terhadap PDB, yang hanya 19,6%pada tahun 1969 menjadi 42,7% pada tahun 1984 sementara peranan ekspor terhadap PDB melonjak dari 10,2% pada tahun 1969menjadi 26,1% pada tahun1984.

Pada dasawarsa 1970-an, ekspor non-migas merupakan sumber utama penerimaan devisa Indonesia, yang menyumbang hamper 80% dari penerimaan ekspor. Adanya lonjakan minyak yang pertama tahun 1974, telah mengubah profil ekspor secara drastis. Meskipun ekspor non-migas meningkat dua kali lipat nilainya selama 1971-1975, pangsanya dalam total ekspor menurun menjadi sekitar 25%. Sejak itu, situasi ekonomi Indonesia dan prospeknya demikian terikat dengan perkembangan pasar minyak. Peran migas sebagai sumber penerimaan Negara berlangsung hingga tahun 1981. setelah 1981 kontribusi migas mulai menurun hingga tahun 1985 menjadi 68.8% dari total ekspor. Di lain pihak, peranan ekspor non-migas kembali meningkat akaibat menurunnya harga minyak dan volume produksi. Pada tahun 1985, ekspor non-migas meningkat lebih dari 31% dari total penerimaan ekspor.

Bantuan Luar Negeri

Di masa awal Orde Baru, para penentu kebijakan menghadapi kelangkaan modal dan sumber pembiayaan pembangunan. Tabungan domestik waktu itu begitu rendah dan tidak dapat diharapkan meningkat dalam waktu singkat. Jalan keluarnya adalah pembiayaan pembangunan dari sumber-sumber luar negeri, dalam bentuk bantuan luar negeri dan PMA. Tak pelak lagi, mengalirlah bantuan luar negeri, dalam bentuk pinjaman lunak (loan) dan hibah, dan investasi asing ke Indonesia. Dalam neraca pembayaran, bantuan luar negeri tercatat sebagai pemasukan modal pemerintah, sedang investasi asing dimasukkan sebagai pemesukan modal swasta. Ditinjau dari macamnya, batuan luar negri yang masuk ke indonesia berupa:

Pertama, bantuan program yang terdiri atas bantuan devisa kredit dan bantuan pangan. Penjualan devisa serta komoditi pangan dan non-pangan yang dari bantuan program dipergunakan untuk mencapai sasaran stabilisasi ekonomi jangka pendek, baik untuk mengendalikan inflasi maupun stabilisasi kurs rupiah.hasil penjualan tersebut setelah dikurangi biayai pemasaran, merupakan penerimaan pemerintah dari bantuan program.

Kedua, bantuan proyek dengan syarat-syarat pelunasan yang lunak digunakan untuk pembiayaan berbagai proyek prasana di bidang ekonomi dan sosial. Sebagiandari bantuan proyek ini merupakan jasa konsultan dan tenaga teknisi yang membantu merencanakan dan meleksanakan pembangunan proyek.

Ketiga, pinjaman setengah lunak dan komersial , termasuk didalamnya kredit ekspor.

Keempat, pinjaman tunai berupa pinjaman obligasi dan pinjaman dari kelompok bank.

Pinjaman Luar Negeri dianggap dapat bermanfaat karena menambah sumber dana dan menutupi kesenjangan antara investasi dan tabungan (I-S Gap), sehingga jika tidak dimanfaatkan berarti ada kesempatan yang hilang. Di sisi lain, PLN dapat juga tidak bermanfaat karena hanya merupakan substitusi mobilisasi dana dalam negeri, dan stok PLN yang besar dapat menjadikan ekonomi rentan terhadap gejolak perekonomian global. Faktor yang terakhir ini menimbulkan pemikiran untuk menghentikan atau mengurangi PLN secara bertahap. Di sini terlihat adanya pilihan diantara kesempatan yang hilang dan kemungkinan resiko krisis ekonomi.

Selama hampir 30 tahun pembangunan hingga tahun 1997, Indonesia terus memanfaatkan PLN sebagai salah satu sumber dana pembangunan. PLN terus meningkat dari sebesar 2,52 milyar dollar (termasuk PLN Orde Lama sebesar 2,1 milyar dollar yang telah dijadwal ulang melalui Paris Club tahun 1970) pada tahun 1970, sebesar 20,9 milyar dollar tahun 1980 dan menjadi 125,8 milyar dollar pada tahun 1997. Dalam kurun waktu tersebut PLN pemerintah meningkat dari 2,52 milyar dollar pada tahun 1970, sebesar 6,6 milyar dollar pada tahun 1980, dan menjadi 64,4 milyar dollar pada tahun 1997. Sementara itu, PLN swasta meningkat dari 14,3 milyar dollar pada tahun 1980 menjadi 61,4 milyar dollar pada tahun 1997. Akumulasi PLN meningkat dari tahun ke tahun, utamanya setelah pertumbuhan menunjukkan kontinuitasnya.

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi rata-rata lebih dari 7 persen per tahun, di duga tidak hanya didorong oleh PLN pemerintah dan PLN swasta tetapi juga dipengaruhi oleh kebijakan ekonomi yang berorientasi keluar (outwardlooking), yang mulai dilaksanakan sejak awal tahun 1980-an. Serangkaian kebijakan ini ditujukan untuk mendorong ekspor melalui peningkatan daya saing dan efisiensi, seperti fleksibilitas dalam nilai tukar rupiah dan reformasi di bidang perpajakan. Peningkatan daya saing dan efisiensi dapat menarik investasi swasta asing (PLN swasta) yang terus meningkat. Sejalan dengan itu, PLN pemerintah semakin diarahkan untuk meningkatkan pembangunan SDM, infrastruktur dan teknologi tinggi. Disamping itu, PLN pemerintah juga dikaitkan dengan persyaratan untuk menerapkan kebijakan yang mendorong peningkatan efisiensi investasi.

Perekonomian yang terus menerus tumbuh telah mendorong masuknya PLN semakin bervariasi. Pada umumnya PLN diterima dari (i) lembaga keuangan internasional (multilateral) seperti Bank Dunia, ADB; (ii) negara-negara sahabat berupa pinjaman bilateral; dan (iii) kreditur swasta. Pinjaman lembaga keuangan internasional pada umumnya berjangka panjang dan lebih banyak pinjaman concessional, sedangkan pinjaman kreditur swasta berjangka pendek dan lebih banyak disalurkan melalui bank komersil terutama yang nonguaranteed. Pinjaman bilateral lebih banyak disalurkan melalui Fasilitas Kredit Ekspor (FKE) dan pinjaman lunak (soft loan), serta sangat dipengaruhi hubungan kedua negara.

Semakin banyak kreditur, semakin banyak jenis PLN, semakin berbeda satu jenis PLN dengan PLN lainnya, dan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi akan berbeda pula. Setiap PLN dapat berbeda dalam jangka waktu pengembalian, masa tenggang waktu, persyaratan, penggunaan, tingkat suku bunga, biaya komitmen, biaya administrasi, dan kebijakan penyesuaian yang harus dilaksanakan, serta persyaratan lain. Perbedaan tersebut di atas dapat diduga akan berpengaruh pada (i) pola hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan PLN, dan (ii) tingkat resiko, baik resiko beban stok PLN yang besar maupun resiko fluktuasi arus keluar PLN.

Banyak pakar ekonomi khawatir terhadap peningkatan stok PLN yang semakin besar, cepat dan beragam. Terlebih lagi setelah batas psikologis stok PLN 100 milyar US dollar sudah dilampaui, dan rasio stok PLN Indonesia terhadap PDB(debt to GDP ratio) dan rasio pembayaran PLN (debt service ratio) terus membesar dan melampaui batas-batas aman yang menjadi ukuran umum. Dalam World Debt Tables dapat dilihat indikator-indikator PLN, antara stok PLN Indonesia dalam beberapa periode telah melampaui batas aman PLN, walaupun ada perbedaan pendapat dalam hal batas aman PLN, pada umumnya batas aman stok PLN adalah 50 % dari PDB dan untuk debt service ratio adalah antara 20-30 % dari nilai ekspor.

Kesadaran yang kuat untuk mengurangi ketergantungan pada PLN muncul setelah mengalami krisis ekonomi tahun 1997. Karena stok PLN besar, maka mengalami kesulitan dalam pembayaran cicilan pokok dan bunganya, sehingga diupayakan penjadualan ulang pinjaman (rescheduling). Pengalaman Indonesia seperti ini telah menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai peranan PLN dalam pertumbuhan ekonomi, krisis ekonomi dan pemulihan ekonomi. Sementara itu, banyak kalangan berpendapat bahwa Indonesia sudah masuk perangkap utang karena untuk pemulihan ekonomi perlu pinjaman baru dan penjadualan ulang PLN juga pada dasarnya adalah pinjaman baru. Hal ini semakin mempertajam pertentangan antara yang pro dan kontra terhadap PLN. Oleh sebab itu, dirasakan perlu pemahaman mendalam mengenai PLN agar dapat mengelola PLN dengan baik, karena PLN merupakan beban ekonomi di masa mendatang.

Jumlah dan asal utang Indonesia

Utang luar negeri Indonesia lebih didominasi oleh utang swasta. Berdasarkan data di Bank Indonesia, posisi utang luar negeri pada Maret 2006 tercatat US$ 134 miliar, pada Juni 2006 tercatat US$ 129 miliar dan Desember 2006 tercatat US$ 125,25 miliar. Sedangkan untuk utang swasta tercatat meningkat dari US$ 50,05 miliar pada September 2006 menjadi US$ 51,13 miliar pada Desember 2006.

Investasi Asing (PMA)

Selama periode yang diamati, indonesia telah menjadi importir modal. Arus masuk modal asing (net capital inflows) meningkat dari hampir 300 juta dolar AS per tahun pada akhir 1960-an hinga lebih dari 13 miliar dolar AS pada tahun 1984. hanta terjadi satu kali arus modal keluar (net capital outflow) pada tahun 1975 seiring dengan adanya krisis Pertamina. PMA tercatat sedikit diatas 10% dari arus total, namun dalam bebedrapa tahun, terutama awal pelita I, pangsanya hampir 1/3 dari arus total. Umumnya, porsi terbesar PMA dia lokasikan di sektor pertambangan dan minyak, sedang peringkat ke 2 di sektor manufaktur (Hill, 1988:81). Selama periode 1967-1985, sektor migas menerima 78% dari investasi total, sementara di sektor manufaktur hampir mencapai 20%. Investasi di sektor pertanian dan jasa relatif sabgat kecil karena dibatasi kiprah modal asing di sektor ini.

Tabungan Domestik

Tabungan domestik diperoleh dari sektor pemerintah dan sektor masyarakat. Tabungan pemerintah yang dimaksud adalah tabungan pemerintah dalam APBN, yang merupakan selisih anatara penerimaan dalam negeri dengan pengeluaran rutin. Tabungan masyarakat merupakan akumulasi dari Tabanas, Taska dan deposito berjangka.

Tabungan ini dibutuhkan untuk membiayai investasi. Kesenjangan antara tabungan dan investasi (saving-investment gap) ditutup dengan masuknya arus modal asing ke sektor pemerintah maupun swasta. Perkembangan tabungan, investasi, dan saving-investment gap sebagai proporsi terhadap PDB. Secara umum saving-investment gap nilainya negatif. Namun bila ditelusuri lebih dalam sumber defisitnya berasal dari sektor swasta dan BUMN. Pemerintah pusat nampaknya selalu dapat membiayai investasinya dari tabungan pemerintah.

2.2.3 Hutang Indonesia dan Bantuan Luar Negeri

Indonesia telah mengelola beban utang pemerintah dengan baik.
Ukuran terluas dari dampak utang adalah rasio total utang pemerintah terhadap total output ekonomi atau PDB. Rasio utang publik terhadap PDB turun dari 100 persen (1999) menjadi 40,8 persen pada tahun 2006 dan diperkirakan akan terus turun hingga 30-35 persen pada tahun 2009 (Gambar 01). Hal yang serupa juga terjadi di negara-negara tetangga.

Gambar 01: Beban Utang Berkurang (Rasio utang pemerintah terhadap PDB, persen)

Beban utang Indonesia atas anggaran belanja kembali ke tingkat sebelum terjadinya krisis. Ukuran lain dari dampak utang adalah jumlah sumber daya pemerintah yang dipergunakan untuk membayar cicilan utang, termasuk utang pokok dan bunga Dilihat dari seluruh pengeluaran, cicilan utang Indonesia menjadi lebih ringan, dari 38 persen anggaran belanja pada tingkat pra-krisis (1994-96) menjadi 26 persen pada tahun-tahun belakangan ini (2004-06). Cicilan utang diproyeksikan mencapai sekitar 23 persen dari anggaran belanja pada tahun 2007 (Gambar 2).

Gambar 2. Cicilan Utang Pemerintah terhadap Total Pengeluaran (dalam persen)

Karena pertumbuhan, kinerja fiskal dan penguatan mata uang, utang Indonesia sekarang berada pada tingkat yang sama dengan pesaing regional. Sejak akhir tahun 2006, rasio utang pemerintah Indonesia terhadap PDB sebesar 40,8 persen. Tingkat ini serupa dengan pesaing regional seperti Thailand dan Malaysia dan bahkan jauh lebih baik daripada Filipina.

Gambar 3: Utang Indonesia setingkat dengan pesaing regional (rasio utang pemerintah terhadap PDB 2006, persen)

Sumber: Staf Bank Dunia

Utang publik dalam negeri mencapai separuh utang nasional. Meskipun Indonesia masih meminjam dari luar negeri, sebagian besar utangnya sekarang berasal dari pasar-pasar dalam negeri. Sejak Desember 2006, total utang yang belum dibayar pemerintah pusat berjumlah US$144 milyar dan US$76.8 milyar (53 persen dari total) merupakan utang dalam negeri dan US$67.7 milyar (47 persen) merupakan utang luar negeri. (Gambar 4).

Gambar 4: Utang Publik yang Belum Dibayar (Milyar US$)


Utang pemerintah Indonesia kepada Bank Dunia mencapai 6 persen dari seluruh utangnya. Sampai hari ini, total utang Indonesia yang belum dibayar kepada Bank Dunia adalah sebesar US$8,9 milyar (IBRD US$7,6 milyar, dan IDA US$1,3 milyar bersifat concessional).

Gambar 5: Komposisi utang pemerintah, 2006 (persen dari total)

BAB III

PENUTU

3.1 KESIMPULAN

Sebelum Penulis mengakhiri penulisan makalah ini, maka terlebih dahulu Penulis akan memberikan kesimpulan atas uraian maupun pembahasan dari penelitian ini sebagai berikut:

1. Sistem perekonomian di beberapa negara mulai mengalami perubahan dari masa ke masa. Baik negara-negara maju maupun negara yang sedang berkembang. Hal ini di pengaruhi oleh banyak faktor. Baik dari dalam negara itu sendiri maupun dari luar negara itu.

2. Sistem Ekonomi Pancasila adalah “aturan main” kehidupan ekonomi atau hubungan-hubungan ekonomi antar pelaku-pelaku ekonomi yang didasarkan pada etika atau moral Pancasila dengan tujuan akhir mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

3. SEP dijuluki sebagai paham “bukan-isme”, yaitu paham serba bukan, bukan kapitalisme, bukan liberalisme, tidak ada monopoli, tidak ada oligopoli, tidakada persaingan bebas yang saling mematikan, dan sebagainya.

4. Ekonomi Indonesia yang “sosialistik” sampai 1966 berubah menjadi “kapitalistik” bersamaan dengan berakhirnya Orde Lama (1959-1966). Selama Orde Baru (1966-1998) sistem ekonomi dinyatakan didasarkan pada Pancasila dan kekeluargaan yang mengacu pasal 33 UUD 1945, tetapi dalam praktek meninggalkan ajaran moral, tidak demokratis, dan tidak adil. Ketidakadilan ekonomi dan sosial sebagai akibat dari penyimpangan/penyelewengan Pancasila dan asas kekeluargaan telah mengakibatkan ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial yang tajam yang selanjutnya menjadi salah satu sumber utama krisis moneter tahun 1997. Aturan main sistem ekonomi Pancasila yang lebih ditekankan pada sila ke-4 Kerakyatan (yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan) menjadi slogan baru yang diperjuangkan sejak reformasi. Melalui gerakan reformasi banyak kalangan berharap hukum dan moral dapat dijadikan landasan pikir dan landasan kerja. Sistem ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang memihak pada dan melindungi kepentingan ekonomi rakyat melalui upaya-upaya dan program-program pemberdayaan ekonomi rakyat. Sistem ekonomi kerakyatan adalah sub-sistem dari sistem ekonomi Pancasila, yang diharapkan mampu meredam ekses kehidupan ekonomi yang liberal.

5. Alternatif sumber pembangunan Indonesia adalah berasal dari Ekspor, Bantuan Luar Negeri, Investasi Asing, dan Tabungan Domestik. Diantara semua itu yang sangat berperan penting dalam pembangunan Indonesia adalah Bantuan Luar Negeri. Walaupun di lain pihak hal tersebut menambah deretan panjang utang dalam negeri Indonesia.

6. Bagi Negara donor, pemberian bantuan akan memperkuat ikatan keuangan antara Negara donor dengan penerima bantuan yang disertai dengan tujuan-tujuan tertentu. Serta tangung jawab moral Negara kaya kepada Negara miskin diladasi premis bahwa interdepedensi ekonomi dan politik internasional berarti memperluas keadilan social dari lingkup nasional ke internasional. Negara Indonesia dalam hal membutuhkan modal cepat dalam pembangunan negaranya. Dan alternatif yang paling mudah untuk merealisasikannya adalah dengan menghimpun modal dari luar negeri. Baik dari PMA maupun hutang luar negeri.

7. Overborrowing adalah pinjaman yang berlebihan. Posisi hutang luar negeri Indonesia sudah pernah berada pada taraf overborrowing, namun perlahan-lahan terus menurun.

8. Rencana anggaran tahun 2006 memperlihatkan bahwa pemerintah pusat membayar bunga sebesar Rp 79 trilyun (US$8,6 milyar) dan utang pokok sebesar Rp 52,7 trilyun (US$5,8 milyar) kepada kreditur asing. Jika dilihat dari PDB, total utang Indonesia (pembayaran bunga dan pokok) turun dari rata-rata 4,9 persen pada tahun 2003-2005 menjadi 4,7 persen pada tahun 2006. Pemerintah Indonesia membayar Bank Dunia untuk utang pokok sebesar US$1,4 milyar dan untuk bunga sebesar US$0,5 milyar pada tahun 2006. Utang Indonesia kepada Bank Dunia adalah 10,6 persen dari seluruh utang nasional.

9. Langkah-langkah yang harus dilakukan In donesia agar tidak terus terjebak dalam lilitan hutang luar negeri adalah dengan cara meningkatkan sektor perekonomian makro dan mikro dan memfokuskan pada usaha untuk mempercepat pembayaran utang luar negeri. Hal tersebut dapat dilakukan dengan meningkatkan taraf SDM Indonesia dan meningkatkan kualitas BUMN.

3.2 SARAN

Dalam menghadapi masa transisi ekonomi, negara indonesia harus terus berpegang terus pada asas Perekonomian Pancasila. Hal ini dikarenakan asas yang terkandung dalam perekonomian Pancasila tersebut sangat mewakili dari pemikiran dan prinsip hidup bangsa Indonesia.

Dan dalam hal menggalang modal pembangunan bangsa, indonesia harus berusaha keras agar bisa mendapatkan modal itu dengan meningkatkan sektor ekspor dan Penanaman Modal Asing di Indonesia, bukannya menambah bantuan luar negeri atau utang luar negeri Indonesia. Untuk menunjang itu semua dibutuhkan SDM yang memadai.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Kuncoro, Mudrajad,

Bagus, Santoso. Studi Manajemen Utang Luar Negeri dan Dalam Negeri

Pemerintah dan Assessment Terhadap Optimal Borrowing

(www.google.co.id) 22 Maret 2008

Makhlani. Pola Pembangunan Ekonomi dengan Pinjaman Luar Negeri

(www.google.co.id) 22 Maret 2008

www.one.indoskripsi.com

www.ekonomirakyat.com

www.imf.org

www.worldbank.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar